BAB
I
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
NYERI.
Nyeri didefinisikan sebagai suatu
keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang
pernah mengalaminya. Nyeri, sakit, dolor (Latin) atau pain (Inggris) adalah
kata-kata yang artinya bernada negatif; menimbulkan perasaan dan reaksi yang
kurang menyenangkan. Walaupun demikian,kita semua menyadari bahwa rasa sakit
kerapkali berguna,antara lain sebagai tanda bahaya; tanda bahwa ada perubahan
yang kurang baik di dalam diri manusia.
Berikut adalah pendapat beberapa ahli mengenai pengertian nyeri :
1. Mc.
Coffery (1979), mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang yang keberadaannya diketahui hanya jika orang tersebut pernah
mengalaminya.
2. Wolf
Weifsel Feurst (1974), nyeri merupakan suatu perasaan menderita secara fisik
dan mental atau perasaan yang bias menimbulkan ketegangan.
3. Arthur
C. Curton (1983), nyeri merupakan suatu mekanisme produksi bagi tubuh, timbul
ketika jaringan sedang rusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk
menghilangkan rangsangan nyeri.
4. Scrumum,
mengartikan nyeri sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan akibat
terjadinya rangsangan fisik dari serabut saraf dalam tubuh ke otak dan diikuti
oleh reaksi fisik, fisiologis, dan emosional.
B. FISIOLOGI
NYERI.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh
yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai
reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya
terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nociceptor , secara anatomis reseptor nyeri (nociceptor) ada yang
bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nociceptor
dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus),
somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang
berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nociceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub
kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan
didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen
yaitu reseptor A delta dan serabut C.
1. Reseptor
A Delta
a. Merupakan serabut bermyelin
b.
Mengirimkan pesan secara cepat
c.
Menghantarkan sensasi yang
tajam, jelas sumber dan lokasi nyerinya
d.
Reseptor berupa ujung-ujung saraf bebas di kulit dan struktur dalam
seperti,
otot
tendon, dll.
e. Biasanya sering ada pada injury akut.
f. Diameternya besar.
2. Serabut
C
a. Tidak bermyelin.
b. Diameternya
sangat kecil.
c. Lambat dalam menghantarkan impuls.
d. Lokasinya jarang, biasanya dipermukaan dan
impulsnya bersifat persisten.
e. Menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran,
suhu hangat, dan tekanan
Halus.
f. Reseptor terletak distruktur permukaan.
C. KLASIFIKASI
NYERI.
1. Berdasarkan
sumbernya
a.
Cutaneus /
superficial,
Yaitu nyeri yang mengenai kulit/ jaringan subkutan. Biasanya
bersifat burning (seperti terbakar). Contoh: terkena ujung pisau atau gunting.
b.
Deep somatic
/ nyeri dalam,
Yaitu nyeri yang muncul dari ligament, pemb. Darah, tendon dan syaraf, nyeri menyebar &
lbh lama daripada cutaneus. Contoh: sprain sendi.
c.
Visceral (pada
organ dalam),
Stimulasi reseptor nyeri dlm rongga abdomen, cranium dan thorak.
Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan.
2. Berdasarkan penyebab
a.
Fisik.
Bisa
terjadi karena stimulus fisik. Contoh: fraktur femur.
b.
Psycogenic.
Terjadi
karena sebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi, bersumber dari emosi /
psikis dan biasanya tidak disadari. Contoh: orang yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya.
3. Berdasarkan lama / durasinya.
a.
Nyeri akut.
Merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang,
yang tidak melebihi 6 bulan dan ditandai dengan adanya peningkatan tegangan
otot.
b.
Nyeri kronis.
Merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya
berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu lebih dari 6 bulan. Yang termasuk
dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan
nyeri psikosomatis.
D. STIMULUS
NYERI.
Seseorang
dapat menoleransi, menahan nyeri (pain
tolerance), atau dapat mengenali jumlah stimulasi nyeri sebelum merasakan
nyeri (pain threshold).
Terdapat
beberapa jenis stimulus nyeri, diantaranya :
1. Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena
bedah akibat terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada
reseptor.
2. Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena
edema akibat terjadinya penekanan pada reseptor nyeri.
3. Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.
4. Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi
blockade pada arteria koronaria yang menstimulasi reseptor nyeri akibat
tertumpuknya asam laktat.
5. Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.
E. TEORI
NYERI.
Terdapat beberapa teori tentang terjadinya rangsangan nyeri,
diantaranya :
1. Teori pemisahan (specificity theory).
Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk ke medulla spinalis
melalui kornu dorsalis yang bersinaps di daerah posterior, kemudian naik ke tractus lissur dan menyilang di garis
median ke sisi lainnya, dan berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan
nyeri tersebut diteruskan.
2. Teori pola (pattern theory).
Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke medulla
spinalis dan merangsang aktifitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respons
yang merangsang ke bagian yang lebih tinggi, yaitu korteks serebri, serta
kontraksi menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi sehingga menimbulkan
nyeri, persepsi dipengaruhi oleh modalitas dari reaksi sel T.
3. Teori pengendalian gerbang (gate comtrol
theory).
Menurut teori ini, nyeri tergantung dari kerja saraf besar dan
kecil yang keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat
saraf besar akan meningkatkan tertutupnya pintu mekanisme sehimgga aktivitas
sel T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat. Rangsangan
serat besar dapat langsung merangsang korteks serebri. Hasil persepsi ini akan
dikembalikan ke dalam medulla spinalis melalui serat efferent dan reaksinya
mempengaruhi aktivitas sel T. Rangsangan pada serat kecil akan menghambat
aktivitas subtansia gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang
aktivitas sel T yang selanjutnya akan menghantarkan rangsangan nyeri.
4. Teori transmisi dan inhibisi.
Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls-impuls
saraf, sehingga transmisi impuls nyeri menjadi efektif oleh neurotransmitter
yang spesifik. Kemudian, inhibisi impuls nyeri menjadi efektif oleh
impuls-impuls pada serabut-serabut besar yang memblok impuls pada serabut
lamban dan endogen opiate system supresif.
F. TINGKATAN
NYERI.
1. Skala intensitas.
10 :
Sangat dan tidak dapat dikontrol oleh klien.
9, 8, 7 : Sangat nyeri tetapi masih dapat dikontrol oleh klien dengan
aktifitas
yang
bisa dilakukan.
6 : Nyeri seperti terbakar atau
ditusuk-tusuk.
5 : Nyeri seperti tertekan atau bergerak.
4 : Nyeri seperti kram atau kaku.
3 : Nyeri seperti perih atau mules.
2 : Nyeri seperti melilit atau terpukul.
1 : Nyeri seperti gatal, tersetrum atau nyut-nyutan.
0 : Tidak ada nyeri.
5 : Nyeri seperti tertekan atau bergerak.
4 : Nyeri seperti kram atau kaku.
3 : Nyeri seperti perih atau mules.
2 : Nyeri seperti melilit atau terpukul.
1 : Nyeri seperti gatal, tersetrum atau nyut-nyutan.
0 : Tidak ada nyeri.
2. Tipe
nyeri
10 :
tipe nyeri sangat berat.
7-9 :
tipe nyeri berat.
4-6 :
tipe nyeri sedang.
1-3 : tipe
nyeri ringan.
G. FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI NYERI.
Pengalaman nyeri pada seseorang dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya adalah :
1. Arti
nyeri.
Arti nyeri bagi seseorang
memiliki banyak perbedaan dan hamper sebagian arti nyeri merupakan negative,
seperti membahayakan,merusak dll. Keadaan ini dipengaruhi oleh berbagai factor,
seperti usia, jenis kelamin, latar belakang sosial budaya, lingkungan, dan
pengalaman.
2. Persepsi
nyeri.
Persepsi nyeri merupakan penilaian
yang sngat subyektif tempatnya pada korteks (pada fungsi evaluative kognitif).
Persepsi ini dipengaruhi oleh factor yang dapat memicu stimulasi nociceptor.
3. Toleransi
nyeri.
Toleransi ini erat
hubungannya dengan intensitas nyeri yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang
menahan nyeri. Factor yang dapat mempengaruhi peningkatan toleransi nyeri
antara lain alcohol, obat-obatan, hipnotis, gesekan atau garukan, pengalihan
perhatian, kepercayaan yang kuat, dsb. Sedangkan faktir yang menurunkan toleransi
antara lain kelelahan, rasa marah, bosan, cemas, nyeri yang tidak kunjung
hilang, sakit dll.
4. Reaksi
terhadap nyeri.
Reaksi terhadap nyeri
merupakan bentuk respons seseorang terhadap nyeri, seperti ketakutan, gelisah,
cemas, menangis, dan menjerit. Semua ini merupakan bentuk respons nyeri yang
dapat dipengaruhioleh beberapa factor, seperti arti nyeri, tingkat persepsi
nyeri, pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan social, kesehatan fisik dan
mental, rasa takut,cemas, usia dll.
BAB II
ASUHAN
KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN.
Pengkajian
nyeri yang faktual (terkini), lengkap dan akurat akan memudahkan perawat di
dalam menetapkan data dasar, menegakkan diagnose keperawatan yang tepat,
merencanakan terapi pengobatan yang cocok, dan memudahkan perawat dalam mengevaluasi
respon klien terhadap terapi yang di berikan.
Tindakan perawat yang perlu
dilakukan dalam mengkaji pasien selama nyeri akut adalah:
1. Mengkaji
perasaan klien (respon psikologis yang muncul).
2. Menetapkan
respon fisiologis klien terhadap nyeri dan lokasi nyeri.
3. Mengkaji
tingkat keparahan dan kualitas nyeri.
Pengkajian
selama episode nyeri akut sebaiknya tidak dilakukan saat klien dalam keadaan
waspada (perhatian penuh pada nyeri), sebaiknya perawat berusaha untuk
mengurangi kecemasan klien terlebih dahulu sebelum mencoba mengkaji kuantitas
persepsi klien terhadap nyeri. Sedangkan untuk pasien dengan nyeri kronis maka
pengkajian yang lebih baik adalah dengan memfokuskan pengkajian pada dimensi
perilaku, afektif, kognitif (NIH, 1986; McGuire, 1992).
Donovan dan
Girton (1984) mengidentifikasikan komponen-komponen tersebut, diantaranya:
1. Penentuan
ada tidaknya nyeri.
Dalam melakukan pengkajian
terhadap nyeri, perawat harus mempercayai ketika pasien melaporkan adanya
nyeri, walaupun dalam observasi perawat tidak menemukan adanya cedera atau
luka.
a. Karakteristik
nyeri (Metode P, Q, R, S, T).
1) Faktor
Pencetus (P: Provocate),
Perawat mengkaji tentang
penyebab atau stimulus-stimulus nyeri pada klien, dalam hal ini perawat juga
dapat melakukan observasi bagian-bagian tubuh yang mengalami cedera.
2) Kualitas
(Q: Quality),
Kualitas nyeri merupakan
seseuatu yang subjektif yang diungkapkan oleh klien. Misal kalimat-kalimat:
tajam, tumpul, berdenyut, berpindah-pindah, seperti tertindih, perih, dan
tertusuk.
3) Lokasi
(R: Region),
Untuk mengkaji lokasi nyeri
maka perawat meminta klien untuk menunjukkan semua bagian atau daerah yang
dirasakan tidak nyaman oleh klien.
4) Keparahan
(S: Severe),
Tingkat keparahan pasien
tentang nyeri merupakan karakteristik yang paling subjektif. Pada pengkajian
ini klien diminta untuk menggambarkan nyeri yang ia rasakan sebagai nyeri
ringan, nyeri sedang atau berat.
Gambar 1 Skala Intensitas Nyeri Numerik (0-10)
Skala
Numerik (Numerical Rating Scale, NRS)
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini psien menilai
nyeri dngan skala 0 sampai 10. Angka 0 diartikan kondisi klien tidak merasakan
nyeri, angka 10 mengindikasikan nyeri paling berat yang dirasakan klien. Skala
ini efektif digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah
intervensi terapeutik.
Gambar 2
Skala Analog Visual (VAS)
Skala
Analog Visual (Visual Analog Scale, VAS)
merupakan suatu garis lurus, yangmewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala analog visual merupakan pengukur
keparahan nyeri yang lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap
titik pada rangkaian daripada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (McGuire,
1984).
Gambar 3 Skala Deskriptif Verbal
Skala
Deskriptif Verbal (Verbal Descriptor
Scale, VDS) merupakan salah satu alat ukur tingkat keparahan yang lebih
bersifat objektif. Skala ini merupakan sebuah garis yang terdiri dari beberapa
kalimat pendeskripsi yang tersusun dalam jarak yang sama sepanjang garis.
Kalimat pendeskripsi ini diranking dari tidak ada nyeri sampai nyeri yang
paling hebat. Perawat menunjukkan skala tersebut pada klien dan meminta untuk
menunjukkan intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan.
Gambar 4
Skala Nyeri Oucher
Untuk
mengukur skala intensitas nyeri pada anak-anak dikembangkan alat yang dinamakan
“Oucher”, yang terdiri dari dua skala yang terpisah dengan nilai 0-100 pada
sisi sebelah kiri untuk anak-anak yang berusia lebih besar dan skala fotografik
enam gambar pada sisi sebelah kanan yang digunakan pada anak-anak yang lebih
kecil.
Gambar 5 Skala Nyeri Wajah
yang Dikembangkan Wong & Baker
5) Durasi
(T: Time).
Perawat menanyakan pada
pasien untuk menentukan awitan, durasi, dan rangkaian nyeri
b. Faktor
yang memperberat/memperingan nyeri.
Perawat
perlu mengkaji faktor-faktor yang dapat memperberat nyeri pasien, misalnya
peningkatan aktivitas, perubahan suhu, stres, dan lain-lain.
1. Respon
Fisiologis.
Pada saat impuls nyeri naik
ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan thalamus, system saraf otonom
menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stres. Stimulasi pada cabang
simpatis pada system saraf otonom menghasilkan respon fisiologis. Apabila nyeri
berlangsung terus menerus, berat, dalam dan melibatkan organ-organ visceral
(misal: infark, miokard, kolik akibat kandung empedu, atau batu ginjal) maka
sistem saraf simpatis menghasilkan suatu aksi.
Beberapa
respon fisiologis terhadap nyeri yaitu:
a)
Stimulasi Simpatik: (nyeri
ringan, moderat, dan superficial).
·
Dilatasi saluran bronkhial
dan peningkatan respirasi rate.
·
Peningkatan heart rate.
·
Vasokonstriksi perifer,
peningkatan BP.
·
Peningkatan nilai gula darah.
·
Diaphoresis.
·
Peningkatan kekuatan otot.
·
Dilatasi pupil.
·
Penurunan motilitas GI.
b)
Stimulus Parasimpatik (nyeri
berat dan dalam)
·
Muka pucat.
·
Otot mengeras.
·
Penurunan HR dan BP.
·
Nafas cepat dan irregular.
·
Nausea dan vomitus.
·
Kelelahan dan keletihan.
2. Respon
Perilaku.
Respon perilaku terhadap
nyeri yang biasa ditunjukkan oleh pasien antara lain: merubah posisi tubuh,
mengusap bagian yang sakit, menopang bagian nyeri yang sakit, menggeretakkan
gigi, menunjukkan ekspresi wajah meringis, mengerutkan alis, ekspresi verbal
menangis, mengerang, mengaduh, menjerit, meraung.
3. Respon
Afektif.
Respon ini diperhatikan oleh
seorang perawat di dalam melakukan pengkajian terhadap pasien dengan gangguan
rasa nyeri.
4.
Pengaruh Nyeri Terhadap
Kehidupan Klien.
Pengkajian
pada perubahan aktivitas ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan
klien dalam berpartisipasi terhadap kegiatan-kegiatan sehari-hari, sehingga
perawat juga mengetahui sejauh mana dia dapat membantu dalam program aktivitas
pasien. Perubahan-perubahan yang
dikaji: perubaha pola tidur, pengaruh nyeri pada aktivitas, serta perubahan
pola interaksi pada orang lain.
5. Persepsi
Klien Tentang Nyeri.
Perawat
mengkaji persepsi klien terhadap nyeri yang ia alami dengan proses penyakit
atau hal lain dalam diri dan lingkungan.
6. Mekanisme
Adaptasi Klien Terhadap Nyeri.
Perawat
mengkaji cara-cara apa saja yang bisa klien gunakan untuk menurunkan nyeri yang
ia alami.
B. DIAGNOSIS.
Keberadaan nyeri pada klien dapat mencetuskan
masalah keperawatan lainnya. Penegakkan diagnosa keperawatan yang akurat akan
dapat dilaksanakan apabila data dan analisa pengkajian yang dilakukan cermat
dan akurat.
C. INTERVENSI.
Perencanaan keperawatan yang dibuat untuk klien
nyeri diharapkan berorientasi untuk memenuhi hal-hal berikut:
1. Klien
melaporkan adanya penurunan rasa nyeri.
2. Klien
melaporkan adanya peningkatan rasa nyaman.
3. Klien
mampu mempertahankan fungsi fisik dan psikologis yang dimiliki.
4. Klien
mampu menjelaskan faktor-faktor penyebab nyeri.
5. Klien
mampu menggunakan terapi yang diberikan untuk mengurangi rasa nyeri saat
dirumah.
D. IMPLEMENTASI.
Tindakan yang dilakukan perawat untuk
mengurangi rasa nyeri ada dua:
1. Tindakan
Farmakologis.
Merekomendasikan
petunjuk untuk pengobatan, WHO mengombinasikan penggunaan obat-obatan analgesik
dan obat-obatan adjuvan yang efektif untuk mengontrol nyeri klien.
2. Tindakan
Non Invasif.
Tindakan
pengontrolan nyeri non invasive digunakan untuk mendukung terapi farmakologis
yang sudah diberikan. Jenis tindakan non invasive antara lain:
a) Membangun
hubungan terapeutik rawat-klien.
b) Bimbingan
antisipasi.
c) Relaksasi.
d) Imajinasi
terbimbing.
e) Distraksi.
f) Akupunkur.
g) Biofeedback.
h) Stimulasi
kutaneus.
i)
Akupresur.
j)
Psikoterapi.
3. Tindakan
Invasif/Pembedahan.
Merupakan
komplemen dari tindakan-tindakan lainnya dalam upaya membebaskan nyeri, seperti
tindakan perilaku-kognitif, fisik maupun terapi farmakologis. Tindakan ini
dilakukan apabila dengan tindakan-tindakan non invasif tidak dapat membebaskan
nyeri. Klien perlu diberikan pengetahua tentang implikasi setelah tindakan
pembedahan untuk mengontrol nyeri. Beberapa kasus pembedahan antara lain:
a) Cordotomy.
b) Neurectomy.
c) Sympatectomy.
d) Rhizotomy.
E. EVALUASI.
Evaluasi keperawatan terhadap pasien dengan
masalah nyeri dilakukan dengan menilai kemampuan dalam respon rangsangan nyeri,
diantaranya: klien melaporkan adanya penurunan rasa nyeri, mampu mempertahankan
fungsi fisik dan psikologis yang dimiliki, mampu menggunakan terapi yang
diberikan untuk mengurangi rasa nyeri.
DAFTAR
PUSTAKA
Kozier. Fundamental Of Nursing. Potter dan Perry.2006. Fundamental
Keperawatan. Vol:2. Jakarta: EGC.
Asmadi.2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi
Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar